Cari Blog Ini

Jumat, 02 Agustus 2024

 

SENGKETA HAK ASUH ANAK

Masalah hak asuh anak, apalagi sampai ke eksekusi, seringkali menjadi hal yang sangat menyulitkan. Secara yuridis, dan teoritis, sepertinya tampak sederhana. Anak dibawah 12 tahun atau yang dikenal dengan sebutan anak belum mumayiz, hak asuhnya ada pada ibu kandungnya kecuali ada putusan hukum yang mengecualikannya. Pengasuhan anak berdasarkan asas kepentingan terbaik bagi anak.

Dalam prakteknya, seringkali masalah hak asuh anak (Hadlonah) menjadi lebih rumit dari pada perkara perceraian. Banyak kasus, dimana Penggugat (P)/pemohon (L) tidak keberatan dengan perceraian dengan pasangannya. Namun masalah hak asuh anak, bisa disepakati. Konsep kepentingan terbaik bagi anak adalah anak jangan pernah dijadikan korban untuk kedua kalinya oleh orang tuanya. Saat orang tua bercerai itu sebenarnya anak sudah menjadi korban, jangan malah ditambah dengan persengketaan dengan siapa anak harus ikut salah satu orang tuanya. Yang terbaik adalah anak tetap merasa memiliki kasih sayang sempurna dari ayah dan ibunya.  

Namun hal ideal tidak selalu menemukan jalan, sering kali perceraian diikuti dengan konflik sehingga menyelesaikan masalah lanjutannya (hak asuh anak, harta bersama perkawinan) selalu dengan mengedepankan emosi. Alangkah indahnya jika perceraian hanyalah dimaknai putusnya ikatan perkawinan, tapi tidak sampai memutus ikatan silaturrohmi diantara keduanya. Hubungan baik yang terjaga akan melahirkan komunikasi yang baik pula, sehingga pengasuhan anak bisa didiskusikan dengan baik.

 Namun jika kondisi itu mustahil diciptakan maka penetapan pengadilan mengenai Hak pengasuhan anak menjadi jalan keluar yang terpaksa harus dilakukan demi kepastian hukum.  Dalam proses mendapatkan hak asuh anak muncul masalah yang tidak banyak dimuat di dalam buku-buku kuliah. Yakni tentang strategi bagaimana berjuang mendapatkan atau mempertahankan hak asuh anak. Yang namanya strategi, bisa sangat luas variasinya. Bergantung pada banyak hal, mulai dari kondisi keuangan, kreativitas laywer, hingga moralitas para pihak. Dan kisah-kisah yang terjadi, bisa jadi tidak banyak yang bisa membayangkannya, terutama dari kalangan awam. Atau bahkan mereka yang tidak terbiasa menyaksikan drama kehidupan tentang perebutan hak asuh ini.

Tidak jarang kita temui misalnya, seorang penggugat menunggu anaknya terluka, terjatuh, atau diterlantarkan, untuk membuktikan bahwa tergugat, tidak mampu menjadi orang tua yang kompeten. Atau dengan cara-cara lain termasuk masalah aktifitas Tergugat yang dipakai oleh Penggugat untuk memfreming bahwa Tergugat tidak punya waktu lebih untuk bersama anak. Masalah bisa menjadi semakin rumit karena sebab campur tangan oknum kuasa hukumnya dalam mencari celah-celah Tergugat atau bahkan merekayasa fakta agar hak pengasuhan anak bisa jatuh kepada Penggugat.

Kadang perlawanan harus dilakukan secara sangat keras. Mengingat strategi-strategi yang digunakan kadang tidak terbayangkan tingkat kekejamannya. Meskipun keras, tentu tetap dalam koridor hukum yang berlaku. Keras adalah dalam arti, adakalanya harus melangkah masuk ke ranah hukum pidana, sekalipun perkara pokoknya adalah masalah perdata perceraian dan/hak asuh anak.

Salah satu hal menyedihkan dari rebutan hak asuh anak adalah, kadang hak tersebut diperebutkan bukan karena rasa sayang kepada anaknya, melainkan hanya sekedar untuk melukai hati (mantan) pasangannya. Kadang juga diperebutkan karena kakek nenek nya punya kepentingan menguasai cucunya sehingga ikut membuat rumit masalah. Anak adalah pihak paling lemah dalam konstruksi keluarga, dan paling retan menjadi korban konflik orang tuanya, secara psikologis hal tersebut akan sangat berdampak signifikan dalam membentuk karakter dan kepribadian anak. Mengharap anak tumbuh baik dari kondisi konflik seperti itu jelas mustahil terjadi. (udn76)  





 

HATI-HATI DALAM MENCARI PENGACARA

 

JANGAN MUDAH TERKECOH

PENAMPILAN SEORANG PENGACARA !!

 

Memilih pengacara yang baik adalah prasyarat untuk selesainya perkara dengan baik dan sesuai harapan. Hal tersebut diera sekarang bukan persoalan mudah, karena faktanya sistem yang dianut bukan lagi singgel Bar tapi Multi-Bar. Jumlah Wadah organisasi Advokat sangat banyak dan masing-masing memiliki standart berbeda dalam menentukan kelulusan calon anggotanya.

Banyaknya advokat yang lahir dari Rahim Organisasi yang beragam akan melahirkan kualitas yang berbeda pula sehingga dalam praktiknya semakin membuat sulit seorang Klien untuk mendapatkan pengacara yang benar-benar baik, jujur dan amanah ditengah menjamurnya jumlah pengacara di sekitar kita.

Berikut ini tips sederhana untuk memilih pengacara yang baik:

  1. Pilih pengacara yang spesialis bidangnya. Tidak ada pengacara yang memiliki keahlian disemua bidang hukum. Jika persoalan yang dihadapi klien masalah perdata, maka cari pengacara yang spesialis fokus masalah perdata, jika didampingi pengacara bukan fokus keahliannya maka hasil yang diharapkan bisa kurang sesuai ekspektasi. Begitu juga jika masalahnya pidana, maka carilah  pengacara yang spesialis menangani perkara pidana. setiap pengacara dalam praktik hukumnya terseleksi pada bidang keahlian sendiri-sendiri.
    Memilih pengacara yang sesuai dengan bidang yang dihadapi klien, adalah kunci pertama dan utama dalam menyelesaikan masalah hukum yang dihadapi secara efektif. Salah memilih, sama seperti kita memilih dokter spesialis. Kalau penyakitnya paru-paru maka datanglah ke dokter spesialis paru, karena dokter spesialis jantung tidak memiliki keahlian dibidang paru, begitu sebaliknya. Sehingga hal pertama yang harus kita ketahui, pengacara yang dikenal itu ahli di bidang apa, cari referensi sebanyak-banyaknya. Jika ada pengacara yang mengaku ahli di semua bidang, jangan mudah percaya karena hampir dipastikan itu tidak ada.
  2. Kemampuan pengacara dalam memberikan konsultasi Hukum. Saat memberikan konsultasi hokum rasakan, apakah pengacar lebih banyak menggali permasalahan yg akan diselesaikan, atau lebih sibuk dengan nego biaya perkara? Pengacara yang hanya orientasi uang pasti fokus pembicaraannya masalah uang. Kemungkinan besar pengacara tersebut tidak peduli dgn masalah yg anda hadapi dan lebih memikirkan pendapatan dari kasus yg ditangani. Terhadap pengacara dengan tipe seperti itu berpotensi lebih suka menempuh jalur ‘belakang’ daripada menyelesaikan masalah secara professional sesuai dengan hukum yg berlaku, dan itu prilaku yang jelas melanggar hukum. Klien akan menjadi ATM si pengacara dengan berbagai alasan untuk meminta uang. Sehingga lebih baik, hindari saja.
  3. Pastikan pengacara yang akan ditunjuk memahami masalah yang dihadapi Klien. Tanpa pemahaman terhadap masalah yg dihadapi klliennya, tidak mungkin bisa memberikan solusi hukum yg baik. Jika sudah yakin pengacara paham masalah yang dihadapi klien dengan baik, baru bicara biaya kuasa dan fee. Jika pengacara yang ditunjuk tidak memahami masalahnya dgn baik, maka bisa dipastikan tarif yg ditawarkan adalah asal-asalan dan cenderung sangat tinggi.
  4. Pastikan biaya perkaranya masuk akal. Adakalanya biaya yang diajukan sangat tinggi sedangkan perkara yang dihadapi sebenarnya sepele. Hal ini terutama pada masalah pidana, memanfaatkan kondisi psikologis klien yang sedang panik, takut dan terjepit sehingga cenderung mudah menerima berapapun tarif yg disodorkan. Atau masalah perdata dengan janji-janji manis yang membuat klien memepercayainya.
  5. Pastikan sekup pekerjaannya. Ada banyak tahap dalam proses hukum, dan setiap pengeluaran perlu jelas penggunaannya. Jangan sampai sudah jatuh masih tertimpa tangga. Sudah tertimpa masalah hukum, masih diporotin dalam menjalani proses hukumnya, tentu hal ini akan semakin menambah penderitaan kliennya.
  6. Pastikan pengacaranya amanah dan bisa dipercaya. Tidak kongkalikong dengan lawan anda (bermain dua kaki). Pengacara yang baik adalah Mampu menjaga kepercayaan kliennya. Memiliki integritas. Bersungguh-sungguh menyelesaikan masalah hukum kliennya. Sekalipun pengacara yang kita kenal memilki keahlian, terbaik keilmuannya, namun jika tidak amanah, maka bisa merugikan kliennya.



 

Senin, 12 Juli 2021

DIVERSI ADALAH UPAYA WAJIB TERHADAP PERKARA ANAK

Mengenal Apa Itu Diversi Dalam Hal Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

 

Anak merupakan masa depan bangsa dan negara, anak memiliki masa harapan hidup panjang di mana kelak akan menjadi penerus suatu bangsa dan negara. Maka dari itu, perlindungan terhadap hak anak harus dikedepankan. Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting diprioritaskan.

Di mata hukum positif di Indonesia (ius constitutum/ ius operatum) lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau kerap juga disebut juga sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Konklusi substansinya, ternyata hukum positif Indonesia tidak mengenal unifikasi hukum bersifat baku, imperatif dan berlaku secara universal keseragaman terminologis teknis yuridis pengertian Anak serta tidak menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.

Dalam hal hukum pidana pembatasan umur Anak identik dengan batas usia pertanggungjawaban pidana seorang Anak yang dapat diajukan ke depan persidangan peradilan pidana Anak. Pada saat ini, hukum mengenai peradilan pidana Anak diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Kemudian batasan umur Anak diatur dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) UU SPPA yang menyebutkan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum adalah Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun akan tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Dalam hal Penyelesaian perkara pidana Anak, pengadilan Anak mengupayakan untuk kepentingan terbaik Anak, baik dari segi fisik maupun psikologis. Dalam pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa sistem peradilan Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Selanjutnya apa itu Keadilan Restoratif? Keadilan Restoratif dijelaskan dalam pasal 1 ayat (6) yang menyebutkan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Salah satu dari proses pengadilan Anak adalah adanya diversi.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, hal ini tertuang dalam pasal 1 ayat (6) UU SPPA. Tujuan dari Diversi itu sendiri diatur oleh pasal 6 UU SPPA yang bertujuan untuk:

1.    Mencapai perdamaian antara korban dan anak;

2.    Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

3.    Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

4.    Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

5.    Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Diversi dilakukan berdasarkan pendekatan keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif. Substansi keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula (restitutio in integrum), dan bukan pembalasan.

Diversi tidak diterapkan kepada semua tindak pidana yang dilakukan oleh Anak. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yang menyatakan bahwa:

Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :

(a) diancam dengan pidana  penjara dibawah 7 (tahun);

(b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 (selanjutnya disebut Perma No. 4 Tahun 2014), Musyawarah diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perwakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Dalam Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (tahun) tetapi belum berumur 18 (tahun) atau telah berumur 12 (tahun) meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (tahun).

UU SPPA menentukan bahwa proses diversi pada setiap tingkat pemeriksaan yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan Anak. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU SPPA. Jika tidak dalam salah satu tingkat pemeriksaan tidak dilaksanakannya diversi maka dalam pasal 95 UU SPPA memberikan ancaman sanksi administratif bagi pejabat atau petugas yang melanggar mengupayakan diversi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terdapat sanksi pidana bagi Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam melaksanakan diversi di mana diatur dalam pasal 96 UU SPPA dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA proses diversi wajib memperhatikan:

1.    Kepentingan korban;

2.    Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;

3.    Penghindaran stigma negatif;

4.    Menghindari pembalasan;

5.    Keharmonisan masyarakat; dan

6.    Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat Penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan ditingkat penyidikan lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, kemudian dibuat Laporan Polisi, maka Penyidik wajib bersurat untuk meminta pertimbangan dan saran tertulis dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan (Bapas);

2.    Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 jam setelah permintaan Penyidik diterima;

3.    Penyidik wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah Penyidikan dimulai dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi;

4.    Apabila Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka polisi, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses musyawarah penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, di mana proses musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan diversi maka penyidikan perkara tersebut dilanjutkan, dibuatkan Berita Acara Penyidikan dan perkara dilimpahkan ke Penuntut Umum;

5.    Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Kemudian Pengadilan mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut Penyidik menerbitkan penghentian penyidikan;

6.    Apabila diversi gagal, Penyidik membuat Berita Acara Diversi dan wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Laporan Penelitian Masyarakat dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan/ Bapas. 

Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat Penuntutan diatur dalam ketentuan Pasal 7, dan Pasal 42 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan ditingkat penuntutan lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Setelah menerima berkas dari kepolisian, Penuntut Umum wajib memperhatikan berkasa perkara dari kepolisian dan hasil Penelitian Kemasyarakatan yang telah dibuat oleh Bapas serta kendala yang menghambat proses diversi pada tingkat penyidikan;

2.    Penuntut Umum wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi;

3.    Apabila Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka Penuntut Umum, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses musyawarah penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, di mana proses musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan diversi maka penuntutan perkara tersebut dilanjutkan, dibutkan Berita Acara Proses Diversi dan perkara dilimpahkan ke Pengadilan Anak;

4.    Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Kemudian Pengadilan mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan;

5.    Apabila diversi gagal, Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Laporan Penelitian Masyarakat. 

Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat pemeriksaan di sidang Anak (tahap persidangan) diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 14 dan Pasal 52 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan ditingkat pemeriksaan di sidang Anak lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Setelah menerima berkas dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib menetapkan hakim Anak atau Majelis Hakim Anak untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara;

2.    Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pada praktik peradilan, yang melakukan Diversi tersebut sebagai Fasilitator Diversi yakni hakim Anak yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan (Pasal 1 angka 2 Perma Nomor 4 Tahun 2014). Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan dilakukan untuk mencapai kesepakatan Diversi melalui pendekatan keadilan restoratif.

3.    Apabila Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka Hakim Anak, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses diversi penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait. Proses diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan diawali adanya penetapan Hakim Anak/ Majelis Hakim Anak tentang Penetapan Hari Diversi dan proses diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Negeri dan kemudian dibuatkan Berita Acara Proses Diversi, baik berhasil maupun yang gagal sebagaimana lampiran I, II, III, dan IV Perma No. 4 Tahun 2014 tanggal 24 Juli 2014; 

4.    Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat Penetapan. Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan dan Hakim Anak yang menangani perkara dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan (lampiran V, VI, dan VII Perma No. 44 Tahun 2014). Berikutnya, setelah menerima penetapan dari Ketua Pengadilan tentang kesepakatan diversi maka Hakim Anak/Majelis Hakim Anak menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara dan juga hendaknya berisi redaksional, “memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan”, terhadap Anak yang dalam proses perkara dilakukan penahanan.

5.    Apabila diversi gagal perkara dilanjutkan ke tahap persidangan, di mana selanjutnya Hakim Anak melanjutkan persidangan sesuai dengan prosedur persidangan anak.

Hasil kesepakatan diversi diatur dalam pasal 11 UU SPPA yang berbunyi:

Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:

1.    Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

2.    Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

3.    Keikutsertaan dalam penyidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

4.    Pelayanan masyarakat.

Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses  peradilan pidana Anak dilanjutkan. Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 13 huruf b UU SPPA.

 

 

 


 

Sabtu, 19 Juni 2021

PERSYARATAN SIDANG PERKARA GUGATAN/PERMOHONAN DI PENGADILAN AGAMA





 

Senin, 31 Mei 2021

VERIFIKASI LAPANGAN CALON OBH DI KABUPATEN JOMBANG

 VERIFIKASI FAKTUAL OBH

Jombang-Tim verifikasi Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Jawa Timur Rabo (21/5/2021), melakukan kunjungan ke LBH Nurani Keadilan yang beralamat di Jl. Mojokrapak, Dsn. Bulak, Ds. Mojokrapak, Kec. Tembelang, Kab. Jombang.

Tim Verifikasi secara serempat pada hari yang sama melakukan Verifikasi faktual di 4 LBH di kabupaten Jombang, salah satunya di LBH Nurani Keadilan.

verifikasi Faktual dengan melakukan kunjungan lapangan adalah rangkaian seleksi bagi LBH yang mengajukan diri sebagai OBH (organisasi bantuan Hukum) kemenkumHAM. sebelumnya telah dilakukan seleksi administratif dan verifikasi syarat dokumen OBH.

hampir 2 jam Tim melakukan verifikasi termasuk melihat administrasi kantor dan catatan keuangan Lembaga. selama ini OBH yang lolos verifikasi di kabupaten Jombang hanya satu lembaga yaitu LBH MIZAN, sehingga tahun anggaran 2021 diharapkan di kabupaten Jombang bisa ditambah minimal 2 lembaga lagi.

Hermin selaku Tim penerimaan seleksi OBH Jawa timur berharap LBH Nurani Keadilan yang personilnya adalah orang-orang yang pernah mewakili kabupaten Jombang mengikuti Lomba Kadarkum tingkat propinsi bisa terpilih sebagai OBH tahun 2021.

"Semoga tahun ini, Jombang bisa bertambah jumlah OBH yang menjadi mitra KemekumHAM, sehingga bisa memberikan layanan bantuan hukum terhadap masyarakat secara cuma-cuma, karena pembiayaan di cover pemerintah", ucap Hermin.


 terakhir Hermin berpesan agar kegiatan kadarkum di desa Mojokrapak yang dulu pernah dikunjunginya bisa digiatkan sehingga masyarakat Mojokrapak bisa melek hukum, dengan demikian akan memperkecil potensi pelanggaran hukum.

lebih lanjut disampaikan, Kadarkum nanti diharapkan bisa diduplikasi oleh desa-desa lain di kabupaten jombang

upaya yang selama ini telah dilakukan dengan melakukan penyelesaian masalah melalui Mediasi dianggap cara yang cukup baik, sehingga akan menekan angka kasus yang berproses melalui mekanisme hukum. cara ini dikenal dengan penyelesaian perkara Non-Litigasi. (UDN)

Sabtu, 29 Mei 2021

PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN KEDUDUKAN SERTA DERAJAT KEWARISAN









 

Apa yang harus didahulukan ketika saudara kita meninggal


(Urutan kewajiban Ahli Waris, keluarga dan handai tolan terhadap keluarga yang meninggal)