Mengenal Apa Itu Diversi Dalam Hal Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum
Anak merupakan masa depan bangsa dan negara,
anak memiliki masa harapan hidup panjang di mana kelak akan menjadi penerus
suatu bangsa dan negara. Maka dari itu, perlindungan terhadap hak anak harus
dikedepankan. Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan
orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih
terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting diprioritaskan.
Di mata hukum positif di Indonesia (ius
constitutum/ ius operatum) lazim diartikan sebagai orang yang belum
dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah umur/keadaan
di bawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau kerap juga disebut
juga sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali (minderjarige under
voordij). Konklusi substansinya, ternyata hukum positif Indonesia tidak
mengenal unifikasi hukum bersifat baku, imperatif dan berlaku secara universal
keseragaman terminologis teknis yuridis pengertian Anak serta tidak menentukan
kriteria batasan umur bagi seorang anak.
Dalam hal hukum pidana pembatasan umur Anak
identik dengan batas usia pertanggungjawaban pidana seorang Anak yang dapat
diajukan ke depan persidangan peradilan pidana Anak. Pada saat ini, hukum
mengenai peradilan pidana Anak diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Kemudian
batasan umur Anak diatur dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) UU SPPA yang
menyebutkan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum adalah Anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun akan tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam hal Penyelesaian perkara pidana Anak,
pengadilan Anak mengupayakan untuk kepentingan terbaik Anak, baik dari segi
fisik maupun psikologis. Dalam pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa sistem
peradilan Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Selanjutnya
apa itu Keadilan Restoratif? Keadilan Restoratif dijelaskan dalam pasal 1 ayat
(6) yang menyebutkan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Salah
satu dari proses pengadilan Anak adalah adanya diversi.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana,
hal ini tertuang dalam pasal 1 ayat (6) UU SPPA. Tujuan dari Diversi itu
sendiri diatur oleh pasal 6 UU SPPA yang bertujuan untuk:
1.
Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
2.
Menyelesaikan perkara anak di luar proses
peradilan;
3.
Menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan;
4.
Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
dan
5.
Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Diversi dilakukan berdasarkan pendekatan
keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif. Substansi
keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif merupakan
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula
(restitutio in integrum), dan bukan pembalasan.
Diversi tidak diterapkan kepada semua tindak
pidana yang dilakukan oleh Anak. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 7 ayat
(2) UU SPPA yang menyatakan bahwa:
Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana
yang dilakukan :
(a) diancam dengan pidana penjara
dibawah 7 (tahun);
(b) bukan merupakan pengulangan tindak
pidana.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun
2014 (selanjutnya disebut Perma No. 4 Tahun 2014), Musyawarah diversi adalah
musyawarah antara pihak yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban
dan/atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional,
perwakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan
diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan fasilitator adalah
hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang
bersangkutan. Dalam Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi
diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (tahun) tetapi belum berumur
18 (tahun) atau telah berumur 12 (tahun) meskipun pernah kawin tetapi belum
berumur 18 (tahun).
UU SPPA menentukan bahwa proses diversi pada
setiap tingkat pemeriksaan yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan, dan
persidangan Anak. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU
SPPA. Jika tidak dalam salah satu tingkat pemeriksaan tidak dilaksanakannya
diversi maka dalam pasal 95 UU SPPA memberikan ancaman sanksi administratif
bagi pejabat atau petugas yang melanggar mengupayakan diversi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan terdapat sanksi pidana bagi Penyidik, Penuntut
Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam
melaksanakan diversi di mana diatur dalam pasal 96 UU SPPA dengan ancaman
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA proses diversi
wajib memperhatikan:
1.
Kepentingan korban;
2.
Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
3.
Penghindaran stigma negatif;
4.
Menghindari pembalasan;
5.
Keharmonisan masyarakat; dan
6.
Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi
pada tingkat Penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 27, Pasal 28, dan
Pasal 29 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan ditingkat penyidikan
lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Setelah
tindak pidana dilaporkan atau diadukan, kemudian dibuat Laporan Polisi, maka
Penyidik wajib bersurat untuk meminta pertimbangan dan saran tertulis dari
petugas Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan (Bapas);
2. Hasil
Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam
waktu paling lama 3 x 24 jam setelah permintaan Penyidik diterima;
3. Penyidik
wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah
Penyidikan dimulai dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah dimulainya diversi;
4. Apabila
Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka polisi, Pembimbing
Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses musyawarah
penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, di mana proses musyawarah
tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya
diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan diversi
maka penyidikan perkara tersebut dilanjutkan, dibuatkan Berita Acara Penyidikan
dan perkara dilimpahkan ke Penuntut Umum;
5. Apabila
diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, hasil kesepakatan
tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi
tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung jawab di setiap
tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh
penetapan. Kemudian Pengadilan mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut
disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau
Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima
penetapan tersebut Penyidik menerbitkan penghentian penyidikan;
6. Apabila
diversi gagal, Penyidik membuat Berita Acara Diversi dan wajib melanjutkan
penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan Berita
Acara Diversi dan Laporan Penelitian Masyarakat dari petugas Pembimbing
Kemasyarakatan/ Bapas.
Dalam
UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat Penuntutan diatur dalam
ketentuan Pasal 7, dan Pasal 42 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan
ditingkat penuntutan lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Setelah
menerima berkas dari kepolisian, Penuntut Umum wajib memperhatikan berkasa
perkara dari kepolisian dan hasil Penelitian Kemasyarakatan yang telah dibuat
oleh Bapas serta kendala yang menghambat proses diversi pada tingkat
penyidikan;
2. Penuntut
Umum wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan proses diversi dilaksanakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi;
3. Apabila
Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka Penuntut Umum,
Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses
musyawarah penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, di mana proses
musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
dimulainya diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan
diversi maka penuntutan perkara tersebut dilanjutkan, dibutkan Berita Acara
Proses Diversi dan perkara dilimpahkan ke Pengadilan Anak;
4. Apabila
diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, maka hasil
kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil
kesepakatan diversi tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung
jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah
hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk
memperoleh penetapan. Kemudian Pengadilan mengeluarkan Penetapan dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan
tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum,
atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah
menerima penetapan tersebut Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian
penuntutan;
5. Apabila
diversi gagal, Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan dengan
melampirkan Berita Acara Diversi dan Laporan Penelitian Masyarakat.
Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi
pada tingkat pemeriksaan di sidang Anak (tahap persidangan) diatur dalam
ketentuan Pasal 7, Pasal 14 dan Pasal 52 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi
dilakukan ditingkat pemeriksaan di sidang Anak lazimnya dalam praktik dilakukan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Setelah
menerima berkas dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib menetapkan hakim
Anak atau Majelis Hakim Anak untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga)
hari setelah menerima berkas perkara;
2. Hakim
wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh
Ketua Pengadilan Negeri. Pada praktik peradilan, yang melakukan Diversi
tersebut sebagai Fasilitator Diversi yakni hakim Anak yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan (Pasal 1 angka 2
Perma Nomor 4 Tahun 2014). Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan pihak-pihak terkait dan dilakukan untuk mencapai kesepakatan Diversi
melalui pendekatan keadilan restoratif.
3. Apabila
Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka Hakim Anak, Pembimbing
Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses diversi
penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait. Proses diversi tersebut
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan diawali adanya penetapan
Hakim Anak/ Majelis Hakim Anak tentang Penetapan Hari Diversi dan
proses diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Negeri dan
kemudian dibuatkan Berita Acara Proses Diversi, baik berhasil maupun yang gagal
sebagaimana lampiran I, II, III, dan IV Perma No. 4 Tahun 2014 tanggal 24 Juli
2014;
4. Apabila
diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, maka hasil
kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi. Hasil
kesepakatan diversi tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
dibuat Penetapan. Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi.
Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan dan Hakim Anak yang
menangani perkara dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan
(lampiran V, VI, dan VII Perma No. 44 Tahun 2014). Berikutnya, setelah menerima
penetapan dari Ketua Pengadilan tentang kesepakatan diversi maka Hakim
Anak/Majelis Hakim Anak menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara
dan juga hendaknya berisi redaksional, “memerintahkan terdakwa dikeluarkan
dari tahanan”, terhadap Anak yang dalam proses
perkara dilakukan penahanan.
5. Apabila
diversi gagal perkara dilanjutkan ke tahap persidangan, di mana selanjutnya
Hakim Anak melanjutkan persidangan sesuai dengan prosedur
persidangan anak.
Hasil kesepakatan diversi diatur dalam pasal
11 UU SPPA yang berbunyi:
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk,
antara lain:1. Perdamaian
dengan atau tanpa ganti kerugian;
2. Penyerahan
kembali kepada orang tua/wali;
3. Keikutsertaan
dalam penyidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
4. Pelayanan
masyarakat.
Dalam hal kesepakatan diversi tidak
dilaksanakan maka proses peradilan pidana Anak dilanjutkan. Hal ini
secara tegas diatur dalam pasal 13 huruf b UU SPPA.