SENGKETA HAK ASUH ANAK
Masalah hak asuh anak, apalagi sampai ke eksekusi,
seringkali menjadi hal yang sangat menyulitkan. Secara yuridis, dan teoritis,
sepertinya tampak sederhana. Anak dibawah 12 tahun atau yang dikenal dengan
sebutan anak belum mumayiz, hak asuhnya ada pada ibu kandungnya kecuali ada
putusan hukum yang mengecualikannya. Pengasuhan anak berdasarkan asas
kepentingan terbaik bagi anak.
Dalam prakteknya, seringkali masalah hak asuh anak (Hadlonah)
menjadi lebih rumit dari pada perkara perceraian. Banyak kasus, dimana Penggugat
(P)/pemohon (L) tidak keberatan dengan perceraian dengan pasangannya. Namun
masalah hak asuh anak, bisa disepakati. Konsep kepentingan terbaik bagi anak
adalah anak jangan pernah dijadikan korban untuk kedua kalinya oleh orang
tuanya. Saat orang tua bercerai itu sebenarnya anak sudah menjadi korban,
jangan malah ditambah dengan persengketaan dengan siapa anak harus ikut salah
satu orang tuanya. Yang terbaik adalah anak tetap merasa memiliki kasih sayang
sempurna dari ayah dan ibunya.
Namun hal ideal tidak selalu menemukan jalan, sering kali
perceraian diikuti dengan konflik sehingga menyelesaikan masalah lanjutannya
(hak asuh anak, harta bersama perkawinan) selalu dengan mengedepankan emosi. Alangkah
indahnya jika perceraian hanyalah dimaknai putusnya ikatan perkawinan, tapi
tidak sampai memutus ikatan silaturrohmi diantara keduanya. Hubungan baik yang
terjaga akan melahirkan komunikasi yang baik pula, sehingga pengasuhan anak
bisa didiskusikan dengan baik.
Namun jika kondisi
itu mustahil diciptakan maka penetapan pengadilan mengenai Hak pengasuhan anak menjadi
jalan keluar yang terpaksa harus dilakukan demi kepastian hukum. Dalam proses mendapatkan hak asuh anak muncul
masalah yang tidak banyak dimuat di dalam buku-buku kuliah. Yakni tentang
strategi bagaimana berjuang mendapatkan atau mempertahankan hak asuh anak. Yang
namanya strategi, bisa sangat luas variasinya. Bergantung pada banyak hal,
mulai dari kondisi keuangan, kreativitas laywer, hingga moralitas para pihak.
Dan kisah-kisah yang terjadi, bisa jadi tidak banyak yang bisa membayangkannya,
terutama dari kalangan awam. Atau bahkan mereka yang tidak terbiasa menyaksikan
drama kehidupan tentang perebutan hak asuh ini.
Tidak jarang kita temui misalnya, seorang penggugat
menunggu anaknya terluka, terjatuh, atau diterlantarkan, untuk membuktikan
bahwa tergugat, tidak mampu menjadi orang tua yang kompeten. Atau dengan
cara-cara lain termasuk masalah aktifitas Tergugat yang dipakai oleh Penggugat
untuk memfreming bahwa Tergugat tidak punya waktu lebih untuk bersama anak.
Masalah bisa menjadi semakin rumit karena sebab campur tangan oknum kuasa hukumnya
dalam mencari celah-celah Tergugat atau bahkan merekayasa fakta agar hak
pengasuhan anak bisa jatuh kepada Penggugat.
Kadang perlawanan harus dilakukan secara sangat keras.
Mengingat strategi-strategi yang digunakan kadang tidak terbayangkan tingkat
kekejamannya. Meskipun keras, tentu tetap dalam koridor hukum yang berlaku.
Keras adalah dalam arti, adakalanya harus melangkah masuk ke ranah hukum
pidana, sekalipun perkara pokoknya adalah masalah perdata perceraian dan/hak
asuh anak.
Salah satu hal menyedihkan dari rebutan hak asuh anak
adalah, kadang hak tersebut diperebutkan bukan karena rasa sayang kepada
anaknya, melainkan hanya sekedar untuk melukai hati (mantan) pasangannya.
Kadang juga diperebutkan karena kakek nenek nya punya kepentingan menguasai
cucunya sehingga ikut membuat rumit masalah. Anak adalah pihak paling lemah
dalam konstruksi keluarga, dan paling retan menjadi korban konflik orang tuanya,
secara psikologis hal tersebut akan sangat berdampak signifikan dalam membentuk
karakter dan kepribadian anak. Mengharap anak tumbuh baik dari kondisi konflik
seperti itu jelas mustahil terjadi. (udn76)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar