Cari Blog Ini

Senin, 12 Juli 2021

DIVERSI ADALAH UPAYA WAJIB TERHADAP PERKARA ANAK

Mengenal Apa Itu Diversi Dalam Hal Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

 

Anak merupakan masa depan bangsa dan negara, anak memiliki masa harapan hidup panjang di mana kelak akan menjadi penerus suatu bangsa dan negara. Maka dari itu, perlindungan terhadap hak anak harus dikedepankan. Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting diprioritaskan.

Di mata hukum positif di Indonesia (ius constitutum/ ius operatum) lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau kerap juga disebut juga sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Konklusi substansinya, ternyata hukum positif Indonesia tidak mengenal unifikasi hukum bersifat baku, imperatif dan berlaku secara universal keseragaman terminologis teknis yuridis pengertian Anak serta tidak menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.

Dalam hal hukum pidana pembatasan umur Anak identik dengan batas usia pertanggungjawaban pidana seorang Anak yang dapat diajukan ke depan persidangan peradilan pidana Anak. Pada saat ini, hukum mengenai peradilan pidana Anak diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Kemudian batasan umur Anak diatur dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) UU SPPA yang menyebutkan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum adalah Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun akan tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Dalam hal Penyelesaian perkara pidana Anak, pengadilan Anak mengupayakan untuk kepentingan terbaik Anak, baik dari segi fisik maupun psikologis. Dalam pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa sistem peradilan Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Selanjutnya apa itu Keadilan Restoratif? Keadilan Restoratif dijelaskan dalam pasal 1 ayat (6) yang menyebutkan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Salah satu dari proses pengadilan Anak adalah adanya diversi.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, hal ini tertuang dalam pasal 1 ayat (6) UU SPPA. Tujuan dari Diversi itu sendiri diatur oleh pasal 6 UU SPPA yang bertujuan untuk:

1.    Mencapai perdamaian antara korban dan anak;

2.    Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

3.    Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

4.    Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

5.    Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Diversi dilakukan berdasarkan pendekatan keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif. Substansi keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula (restitutio in integrum), dan bukan pembalasan.

Diversi tidak diterapkan kepada semua tindak pidana yang dilakukan oleh Anak. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yang menyatakan bahwa:

Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :

(a) diancam dengan pidana  penjara dibawah 7 (tahun);

(b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 (selanjutnya disebut Perma No. 4 Tahun 2014), Musyawarah diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perwakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Dalam Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (tahun) tetapi belum berumur 18 (tahun) atau telah berumur 12 (tahun) meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (tahun).

UU SPPA menentukan bahwa proses diversi pada setiap tingkat pemeriksaan yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan Anak. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU SPPA. Jika tidak dalam salah satu tingkat pemeriksaan tidak dilaksanakannya diversi maka dalam pasal 95 UU SPPA memberikan ancaman sanksi administratif bagi pejabat atau petugas yang melanggar mengupayakan diversi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terdapat sanksi pidana bagi Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam melaksanakan diversi di mana diatur dalam pasal 96 UU SPPA dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA proses diversi wajib memperhatikan:

1.    Kepentingan korban;

2.    Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;

3.    Penghindaran stigma negatif;

4.    Menghindari pembalasan;

5.    Keharmonisan masyarakat; dan

6.    Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat Penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan ditingkat penyidikan lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, kemudian dibuat Laporan Polisi, maka Penyidik wajib bersurat untuk meminta pertimbangan dan saran tertulis dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan (Bapas);

2.    Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 jam setelah permintaan Penyidik diterima;

3.    Penyidik wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah Penyidikan dimulai dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi;

4.    Apabila Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka polisi, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses musyawarah penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, di mana proses musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan diversi maka penyidikan perkara tersebut dilanjutkan, dibuatkan Berita Acara Penyidikan dan perkara dilimpahkan ke Penuntut Umum;

5.    Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Kemudian Pengadilan mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut Penyidik menerbitkan penghentian penyidikan;

6.    Apabila diversi gagal, Penyidik membuat Berita Acara Diversi dan wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Laporan Penelitian Masyarakat dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan/ Bapas. 

Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat Penuntutan diatur dalam ketentuan Pasal 7, dan Pasal 42 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan ditingkat penuntutan lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Setelah menerima berkas dari kepolisian, Penuntut Umum wajib memperhatikan berkasa perkara dari kepolisian dan hasil Penelitian Kemasyarakatan yang telah dibuat oleh Bapas serta kendala yang menghambat proses diversi pada tingkat penyidikan;

2.    Penuntut Umum wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi;

3.    Apabila Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka Penuntut Umum, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses musyawarah penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, di mana proses musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan diversi maka penuntutan perkara tersebut dilanjutkan, dibutkan Berita Acara Proses Diversi dan perkara dilimpahkan ke Pengadilan Anak;

4.    Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Kemudian Pengadilan mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan;

5.    Apabila diversi gagal, Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Laporan Penelitian Masyarakat. 

Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat pemeriksaan di sidang Anak (tahap persidangan) diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 14 dan Pasal 52 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan ditingkat pemeriksaan di sidang Anak lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1.    Setelah menerima berkas dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib menetapkan hakim Anak atau Majelis Hakim Anak untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara;

2.    Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pada praktik peradilan, yang melakukan Diversi tersebut sebagai Fasilitator Diversi yakni hakim Anak yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan (Pasal 1 angka 2 Perma Nomor 4 Tahun 2014). Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan dilakukan untuk mencapai kesepakatan Diversi melalui pendekatan keadilan restoratif.

3.    Apabila Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka Hakim Anak, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses diversi penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait. Proses diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan diawali adanya penetapan Hakim Anak/ Majelis Hakim Anak tentang Penetapan Hari Diversi dan proses diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Negeri dan kemudian dibuatkan Berita Acara Proses Diversi, baik berhasil maupun yang gagal sebagaimana lampiran I, II, III, dan IV Perma No. 4 Tahun 2014 tanggal 24 Juli 2014; 

4.    Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat Penetapan. Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan dan Hakim Anak yang menangani perkara dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan (lampiran V, VI, dan VII Perma No. 44 Tahun 2014). Berikutnya, setelah menerima penetapan dari Ketua Pengadilan tentang kesepakatan diversi maka Hakim Anak/Majelis Hakim Anak menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara dan juga hendaknya berisi redaksional, “memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan”, terhadap Anak yang dalam proses perkara dilakukan penahanan.

5.    Apabila diversi gagal perkara dilanjutkan ke tahap persidangan, di mana selanjutnya Hakim Anak melanjutkan persidangan sesuai dengan prosedur persidangan anak.

Hasil kesepakatan diversi diatur dalam pasal 11 UU SPPA yang berbunyi:

Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:

1.    Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

2.    Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

3.    Keikutsertaan dalam penyidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

4.    Pelayanan masyarakat.

Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses  peradilan pidana Anak dilanjutkan. Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 13 huruf b UU SPPA.

 

 

 


 

Sabtu, 19 Juni 2021

PERSYARATAN SIDANG PERKARA GUGATAN/PERMOHONAN DI PENGADILAN AGAMA





 

Senin, 31 Mei 2021

VERIFIKASI LAPANGAN CALON OBH DI KABUPATEN JOMBANG

 VERIFIKASI FAKTUAL OBH

Jombang-Tim verifikasi Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Jawa Timur Rabo (21/5/2021), melakukan kunjungan ke LBH Nurani Keadilan yang beralamat di Jl. Mojokrapak, Dsn. Bulak, Ds. Mojokrapak, Kec. Tembelang, Kab. Jombang.

Tim Verifikasi secara serempat pada hari yang sama melakukan Verifikasi faktual di 4 LBH di kabupaten Jombang, salah satunya di LBH Nurani Keadilan.

verifikasi Faktual dengan melakukan kunjungan lapangan adalah rangkaian seleksi bagi LBH yang mengajukan diri sebagai OBH (organisasi bantuan Hukum) kemenkumHAM. sebelumnya telah dilakukan seleksi administratif dan verifikasi syarat dokumen OBH.

hampir 2 jam Tim melakukan verifikasi termasuk melihat administrasi kantor dan catatan keuangan Lembaga. selama ini OBH yang lolos verifikasi di kabupaten Jombang hanya satu lembaga yaitu LBH MIZAN, sehingga tahun anggaran 2021 diharapkan di kabupaten Jombang bisa ditambah minimal 2 lembaga lagi.

Hermin selaku Tim penerimaan seleksi OBH Jawa timur berharap LBH Nurani Keadilan yang personilnya adalah orang-orang yang pernah mewakili kabupaten Jombang mengikuti Lomba Kadarkum tingkat propinsi bisa terpilih sebagai OBH tahun 2021.

"Semoga tahun ini, Jombang bisa bertambah jumlah OBH yang menjadi mitra KemekumHAM, sehingga bisa memberikan layanan bantuan hukum terhadap masyarakat secara cuma-cuma, karena pembiayaan di cover pemerintah", ucap Hermin.


 terakhir Hermin berpesan agar kegiatan kadarkum di desa Mojokrapak yang dulu pernah dikunjunginya bisa digiatkan sehingga masyarakat Mojokrapak bisa melek hukum, dengan demikian akan memperkecil potensi pelanggaran hukum.

lebih lanjut disampaikan, Kadarkum nanti diharapkan bisa diduplikasi oleh desa-desa lain di kabupaten jombang

upaya yang selama ini telah dilakukan dengan melakukan penyelesaian masalah melalui Mediasi dianggap cara yang cukup baik, sehingga akan menekan angka kasus yang berproses melalui mekanisme hukum. cara ini dikenal dengan penyelesaian perkara Non-Litigasi. (UDN)

Sabtu, 29 Mei 2021

PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN KEDUDUKAN SERTA DERAJAT KEWARISAN









 

Apa yang harus didahulukan ketika saudara kita meninggal


(Urutan kewajiban Ahli Waris, keluarga dan handai tolan terhadap keluarga yang meninggal)
 

Kamis, 27 Mei 2021

YURISPRUDENSI PERKARA DI PENGADILAN AGAMA

 

YURISPRUDENSI TENTANG PERKARA DI PENGADILAN AGAMA

 

1.      Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh kuasanya tanggal 3 Desember 1988 sedangkan surat kuasa yang diberikan oleh Penggugat kepada kuasanya baru terjadi pada tanggal 15 Desember 1988 yang bersangkutan belum menjadi kuasa, sehingga ia tidak berhak menandatangani surat kuasa tersebut. {Putusan MARI nomor 359 K/PDT/1992}.

 

2.      “Bahwa dikarenakan perselisihan yang terus menerus dan sudah tidak dapat didamaikan kembali serta sudah tidak satu atap lagi/tidak serumah karena tidak disetujui oleh keluarga kedua belah pihak, maka dapat dimungkinkan jatuhnya ikrar talak”. {Putusan MARI nomor 285 K/AG/2000 Tanggal 10 November 2000}.

 

3.      “Suami isteri yang telah pisah tempat tinggal selama 4 (empat) tahun dan tidak saling memperdulikan sudah merupakan fakta adanya perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga dapat dijadikan alasan untuk mengabulkan gugatan perceraian” {Putusan MARI nomor 1354 K/Pdt/2000 Tanggal 8 September 2003}.

 

4.      “Perceraian dapat dikabulkan apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 19 f Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975”. {Putusan MARI nomor 237 K/AG/1998}.

 

5.      “Bahwa dalam hal perceraian tidak perlu dilihat dari siapa penyebab percekcokan atau salahsatu pihak telah meninggalkan pihak lain, tetapi yang perlu dilihat adalah perkawinan itu sendiri apakah perkawinan itu masih dapat dipertahankan lagi atau tidak”. {Putusan MARI nomor 534 K/Pdt/1996 Tanggal 18 Juni 1996}.

 

6.      “Hakim berkeyakinan bahwa rumah tangga kedua belah pihak antara Pemohon dan Termohon benar telah retak dan sulit untuk dirukunkan kembali, maka cukup alasan bagi hakim mengabulkan permohonan Pemohon untuk menjatuhkan talak satu kepada Termohon”. {Putusan MARI nomor 09 K/AG/1994 Tanggal 25 Nopember 1884}.

 

7.      “Perceraian tidak dapat dikabulkan apabila tidak memenuhi alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 f PP No. 9 Tahun 1975”. {Putusan MARI nomor 237 K/AG/1995 Tanggal 30 Agustus 1995}.

 

8.      “Perceraian dapat dikabulkan karena telah memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 f Kompilasi Hukum Islam”. {Putusan MARI nomor 138 K/AG/1995 Tanggal 26 Juli 1996}.

 

9.      “Karena petitum berisi permohonan tentang perceraian dan tentang perwalian yang seharusnya dapat diperiksa dan diputus dalam satu putusan, maka petitum perwalian yang telah diputus dalam bentuk penetapan harus dianggap sebagai putusan sehingga permohonan kasasi atas putusan (penetapan) tentang perwalian harus dianggap sebagai permohonan banding terhadap suatu putusan”. {Putusan MARI nomor 1513 K/Pdt/1994 tanggal 26 Agustus 1997}.

 

10.  “Pemohon bukan pejabat yang berwenang mengajukan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan secara Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, maka gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima”. {Putusan MARI nomor 196 K/AG/1994 Tanggal 15 Nopember 1996}.

 

11.  “Bahwa suatu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang telah mempunyai isteri, seyogiyanya harus disertai izin dari Pengadilan Agama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 3, 9, 24 dan 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. {Putusan MARI nomor 02 K/AG/2001 Tanggal 29 Agustus 2002}.

 

12.  “Bahwa dalam suatu putusan perceraian dimana seorang Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak menjadi petitum gugatan dimana dalam gugatan perceraian tersebut tidak dikenal adanya gugatan balik terhadap rekonvensi”. {Putusan MARI nomor 233 PK/Pdt/1991 Tanggal 20 Juni 1997}.

 

13.  “Gugatan rekonvensi ternyata tidak terperinci, tidak jelas dan kabur. Tuntutan nafkah yang diajukan oleh Penggugat Konpensi/Tergugat rekonpensi diajukan ke persidangan pada saat memberikan kesimpulan, maka harus dinyatakan tidak dapat diterima”. {Putusan MARI nomor 10 K/AG/1995 Tanggal 15 Agustus 1995}.

14. “Didalam hal gugatan talak bain shughra dimana pihak ayah, ibu, dapat diangkat sebagai saksi dan disesuaikan dengan keterangan pada saksi dari Tergugat”. {Putusan MARI nomor 83 K/AG/1999}.

 

14.  “Bahwa pemberian ½ bagian dari gaji Tergugat kepada Penggugat sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mengenai Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, bukan merupakan hukum acara Peradilan Agama, karena pemberian ½ gaji Tergugat kepada Penggugat merupakan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara”. { Putusan MARI nomor 11 K/AG/2001 Tanggal 10 Juli 2003 }.

 

15.  Seorang ibu yang telah tega menukarkan anaknya dengan harta, tidak dapat dikualifikasikan sebagai ibu yang baik, apalagi sebagai wali ibu.

 

16.  “Dalam hal terjadi perceraian, anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) adalah hak Ibunya“. { Putusan MARI nomor 27 K/AG/1982 Tanggal 30 Agustus 1983}.

 

17.  “Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogiyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu”. {Putusan MARI nomor 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003}.

 

18.  “Bahwa apabila telah terjadi perceraian, maka akibat perceraian harus ditetapkan sesuai dengan kebutuhan hidup minimum berdasarkan kapatutan dan keadilan, dan untuk menjamin kepastian dan masa depan anak perlu ditetapkan kewajiban suami untuk membiayai nafkah anak/anak-anaknya”. {Putusan MARI nomor 280 K/AG/2004 tanggal 10 Nopember 2004}.

 

19.  Adanya surat penyerahan antara bekas suami isteri yang perkawinannya dinyatakan putus karena perceraian, yang merupakan perdamaian di luar sidang adalah kesepakatan bersama yang harus ditaati oleh keduabelah pihak yang membuatnya. {Putusan MARI nomor 1762 K/Pdt/1994 tanggal 29-9-1977}.

 

20.  “Bahwa di dalam suatu gugatan perkara perdata dimana obyek perkara dan Tergugatnya berbeda, maka gugatan tersebut harus diajukan secara terpisah terhadap masing-masing obyek sengketa dan Tergugatnya. Oleh karena itu bila dalam sengketa Penggugat mengajukannya yang obyek sengketa dan Tergugatnya berbeda, digabungkan menjadi satu, terhadap gugatan tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima”. {Putusan MARI nomor 962 K/Pdt/95 Tanggal 17 Desember 1995}.

 

21.  “Bilamana terdapat perbedaan luas dan batas-batas tanah sengketa dalam posita dan petitum, maka petitum tidak mendukung posita, karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima sebab tidak jelas dan kabur”. {Putusan MARI nomor 585 K/Pdt/2000 Tanggal 23 Mei 2001}.

 

22.  “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi yang dituntut”. {Putusan MARI nomor 2831 K/Pdt/1996}.

 

23.  “Pengadilan tidak dapat menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak dituntut oleh Penggugat”. {Putusan MARI nomor 3182 K/Pdt/1994 Tanggal 30 Juli 1997}.

 

24.  “Gugatan penggugat obscuur libel karena identitas obyek perkara yang tercantum dalam gugatan dan hasil pemeriksaan sidang di tempat berbeda. Sedangkan Penggugat tidak mengadakan perubahan surat gugatan”. {Putusan MARI nomor 34 K/AG/1997 Tanggal 27 Juli 1998}.

 

25.  “Permohonan kasasi dapat dikabulkan, karena gugatan Penggugat kurang pihak atau tidak semua ahli waris dijadikan pihak dalam gugatan Penggugat”. {Putusan MARI nomor 184 K/AG/1996 Tanggal 27 mei 1998}.

 

26.  “Yudex Factie telah salah menerapkan hukum karena ada ahli waris lainnya yang tidak diikutsertakan sebagai pihak-pihak dalam memfaraidhkan harta peninggalan pewaris”. {Putusan MARI nomor 537 K/AG/1996 Tanggal 11 Juli 1997}.

 

27.  “Tanggungjawab ahli waris terhadap utang sipewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan {Kompilasi Hukum Islam Pasal 175 ayat (2)”}.

 

28.  “Terhadap harta bawaan dari istri tidak dapat disita sebagai jaminan atas hutang almarhum suaminya sebab bukan merupakan harta peninggalan almarhum suaminya”. {Putusan MARI nomor 3574 K/Pdt/2000 Tanggal 5 September 2002}.

 

29.  “Hibah wasiat baru berlaku setelah orang yang menghibahwasiatkan meninggal dunia sedangkan penghibah sebagai yang menghibahwasiatkan masih hidup, maka hibah wasiat dapat dicabut kembali” {Putusan MARI nomor 3704 K/Pdt/1991 Tanggal 25 Juni 1996}.

 

30.  “Derden Verzet terhadap eksekusi hanya dapat diajukan oleh sipemilik tanah”. {Putusan MARI nomor 3045 K/Pdt/1991 Tanggal 30 Mei 1996}.

 

31.  “Perlawanan oleh para Pelawan yang menyatakan kepemilikan hak atas tanah dianggap sah, pembatalannya melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, maka para Pelawan dinyatakan sebagai Pelawan yang benar dan perlawanannya dapat diterima”. {Putusan MARI nomor 3283 K/Pdt/1994 Tanggal 27 Maret 1997}.

 

32.  “Terhadap putusan sela tidak dapat diajukan banding secara berdiri sendiri, harus lebih dahulu ditunggu putusan akhir, baru dapat diajukan banding bersama-sama dengan putusan akhir”. {Putusan MARI nomor 316 K/Pdt/1994 Tanggal 28 mei 1997}.

 

33.  “Karena eksepsi Tergugat I, II, III dan IV dianggap tepat dan beralasan menurut hukum, maka Pengadilan tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut mengenai gugatan Penggugat, dan selanjutnya gugatan Penggugat tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima”. {Putusan MARI nomor 2895 K/Pdt/1995 Tanggal 30 Agustus 1996}.

 

34.  “Bahwa dalam pembagian harta warisan menurut Hukum Islam, maka harta warisan tersebut harus dibagi diantara para ahli warisnya dengan perbandingan 2 bagian bagi anak laki-laki dan satu bagian bagi anak perempuan”. {Putusan MARI nomor 350 K/AG/1994 Tanggal 28 Mei 1997}.

 

35.  “Selama masih ada anak laki-laki maupun anak perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan isteri menjadi tertutup (terhijab)”. {Putusan MARI nomor 86 K/AG/1994 Tanggal 27 juli 1996}.

 

36.  “Dengan adanya anak perempuan dari pewaris, maka saudara-saudara kandung pewaris tertutup oleh Tergugat Asal I oleh karenanya Penggugat-Penggugat Asal tidak berhak atas harta warisan”. {Putusan MARI nomor 184 K/AG/1995 Tanggal 30 September 1996} = Madzhab Ibn ‘Abbas ra.

 

37.   Jual beli yang dilakukan di bawahtangan sebelum adanya Undang-Undang Pokok Agraria dan tanah sengketa merupakan tanah eigendom, maka masih berlaku sistem BW.

 

38.  Perkawinan pewaris dengan isteri kedua sampai saat pewaris meninggal dunia tidak pernah dibatalkan, karena itu isteri kedua dan anak perempuannya adalah ahli waris. {Putusan MARI nomor 38 K/AG/1998 Tanggal 5 Oktober 1998 } Suara Uldilag No. 1 Mei 2003 M.

 

39.  Mengenai harta bersama walaupun tidak ada tuntutan akan tetapi Hakim secara ex officio dapat membagi harta bersama tersebut. Anak angkat mendapat 1/3 dari tirkah. Anak perempuan dari istri kedua dinyatakan sebagai ahli waris dan mendapat bagian sisa dari bagian istri pertama dan isteri kedua (ibunya). Sedangkan saudara laki-laki dan saudara perempuan pewaris tidak mendapat bagian warisan karena terhalang oleh anak perempuan pewaris. {sda.}.

 

40.  Hal-hal yang diajukan oleh Penggugat yang tidak disangkal oleh Tergugat dapat dianggap sebagai alat bukti. {Putusan MARI nomor 803 K/Sip/1970 tanggal 8 Mei 1971}.

 

41.  Dengan adanya pengakuan Tergugat, dianggap gugatan Penggugat telah terbukti. {Putusan MARI nomor 496 K/Sip/1971 Tanggal 1 September 1971}.

 

42.  Dalam hal jawaban Tergugat yang menyangkal atau keterangan yang berlainan dari surat gugatan, maka Penggugat harus membuktikannya. {Putusan MARI nomor 499 K/Sip/1970 tanggal 4 Pebruari 1970}.

 

43.  Siapa yang membuktikan sesuatu haruslah membuktikan dalilnya. {Putusan MARI nomor 1121 K/Sip/1971 Tanggal 15 April 1972}.

 

44.  Surat-surat yang ditandatangani oleh orang-orang yang tidak cakap berbuat dalam hukum (onbekwan personen) tidak dapat diajukan sebagai alat bukti {Putusan MARI nomor 499 K/Sip/1970 Tanggal 4 Pebruari 1970}.

 

45.  Surat bukti yang tidak bermeterai tidak merupakan alat bukti yang sah {Putusan MARI nomor 589 K/sip/1970 tanggal 13 Maret 1971}.

 

46.  Surat keterangan pajak bukan merupakan bukti kepemilikan, karena sering terjadi bahwa pada surat keterangan pajak masih tetap tercantum nama pemilik tanah yang lama padahal tanahnya sudah menjadi milik orang lain. {Putusan MARI nomor 767 K/Sip/1970 Tanggal 13 Maret 1971}.

 

47.  Suatu akte perjanjian jual beli yang dilaksanakan dihadapan seorang pejabat akte tanah menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 dianggap sebagai bukti yang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna. {Putusan MARI nomor 937 K/Sip/1970 Tanggal 22 Maret 1972}.

 

48.  Dalam hal dua tandatangan yang berbeda yang dibuat oleh seorang yang sama terdapat sedikit perbedaan disebabkan oleh perbedaan jangka waktu, maka Hakim dapat mengambil kesimpulan sendiri tentang suatu alat bukti tanpa diperlukan mendengar saksi ahli. {Putusan MARI nomor 213 K/Sip/1955 Tanggal 10 April 1957 dan Putusan MARI nomor 840 K/Sip/1971 Tanggal 19 Januari 1972}.

 

49.  “Bahwa bukti tambahan tidak dapat mematahkan sumpah suppletoir yang telah dilakukan, sebab sumpah tersebut tidak tunduk pada pemeriksaan banding atau kasasi” {Putusan MARI nomor 935 K/Pdt/1998 Tanggal 21 Desember 1989}.

 

50.  “Bahwa di dalam perkara gugatan mengenai hibah dapat dinyatakan batal apabila si penerima hibah tidak dapat membuktikan secara nyata barang tersebut telah dihibahkan kepadanya”. {Putusan MARI nomor 55 K/AG/1998 Tanggal: 29 Juli 1999}.

 

51.  “Hibah yang melebihi 1/3 dari luas obyek sengketa yang dihibahkan adalah bertentangan dengan ketentuan hukum” {Putusan MA nomor 76 K/AG/1992 Tanggal 23 Oktober 1993}.

 

52.  “Sebelum menerapkan Pasal 210 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, maka terlebih dahulu harus dijelaskan oleh Penggugat jumlah harta keseluruhannya sehingga dapat ditentukan apakah hibah tersebut melampaui batas 1/3 harta hibah atau tidak”. {Putusan MARI nomor 75 K/AG/2003 tanggal 14 Mei 2004}.

 

53.  Bahwa seseorang yang mendalilkan mempunyai hak atas tanah berdasarkan hibah, harus dapat membuktikan kepemilikan atas hibah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, dan apabila diperoleh berdasarkan hibah, maka segera tanah tersebut dibaliknamakan atas nama penerima hibah, jika tidak demikian kalau timbul sengketa di kemudian hari, maka status tanah tersebut tetap seperti semula kecuali benar-benar dapat dibuktikan perubahan status kepemilikannya {Putusan MARI nomor 27 K/AG/2002 tanggal 26 Pebruari 2004}.

 

54.  Judex Factie telah salah menerapkan hukum karena telah memeriksa dan mengadili obyek perkara yang mengandung sengketa hak milik, incasu sedang diproses di Peradilan Umum/proses kasasi”. {Putusan MARI nomor 363 K/AG/1995 Tanggal 11 Juli 1995}.

 

55.  “Bahwa oleh karena Pengadilan Agama Mempawah tidak berwenang mengadili perkara ini, maka sita jaminan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Agama Mempawah harus dinyatakan tidak sah dan tidak berharga, oleh karenanya harus diperintahkan untuk diangkat”. {Putusan MARI nomor 316 K/AG/1995 tanggal 30 Oktober 1995}.

 

56.  Menetapkan memberikan hak kepada Penggugat/Pembanding Sulistiyo untuk bertemu secara intensif dengan anak bernama Dimas Chandra selama 3 (tiga) hari dalam seminggu terhitung sejak putusan ini dijatuhkan sampai secara hukum anak tersebut dapat memilih sendiri untuk ikut ibu atau bapaknya (umur 12 tahun).

 

ü  Menghukum Penggugat/Pembanding dan Tergugat /Terbanding untuk melaksanakan diktum 2 di atas. {Putusan MARI nomor 01 K/AG/2002 Tanggal 17 Januari 2003}.

ü  Memerintahkan Penggugat rekonpensi untuk memperbolehkan dan tidak menghalangi Tergugat rekonpensi kalau sewaktu-waktu ingin menjumpai anak-anak tersebut (Putusan PTA Medan nomor 103/Pdt.G/2006/PTA Mdn. tanggal 31 Januari 2007).

 

57.  Perlawanan derden verzet tidak dapat digabung dengan gugatan lainnya, oleh karenanya permohonan penetapan ahli waris dari almarhum … yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Pelawan, harus dinyatakan tidak dapat diterima. {Putusan MARI nomor 334 K/AG/1999 Tanggal 6 Januari Pebruari 2003}.

 

58.  Menimbang, bahwa majelis hakim berpendapat bahwa Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tentang ahli waris pengganti tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan peristiwa kematian almarhum yang meninggal pada tahun 1985 karena apabila semua peristiwa hukum kewarisan yang telah terjadi sebelum berlakunya Kompilasi Hukum Islam dapat digugat dengan mendasarkan pada Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, maka akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan hal ini tidak sesuai dengan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam itu sendiri {Lihat Putusan MA nomor 221 K/AG/1993 Tanggal 2 Juni 1994 – Putusan PTA Jakarta nomor 025/1993/PTA.Jkt Tanggal 19 Juni 1993}.

 

59.  “Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 adalah Undang-Undang untuk peradilan tingkat banding sehingga tidak dapat diterapkan pada pembuatan surat gugat dalam tingkat pertama”.

 

60.  “Bahwa penggabungan beberapa tuntutan dari Penggugat dapat dibenarkan sepanjang gabungan tuntutan perceraian dengan segala akibat hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sedangkan tuntutan lainnya yang tidak diatur dalam pasal tersebut cukup dinyatakan tidak dapat diterima, tidak seharusnya keseluruhan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan obscuur libel”.

 

61.  “Bilamana perkara yang pihak Tergugatnya gila, sebagian berpendapat bahwa pemeriksaan tetap dilanjutkan dengan diwakili oleh orangtua/walinya/pengampunya, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa harus ada penetapan kurator” {Putusan MARI nomor 249 K/AG/1996 tanggal 8 Januari 1998}.
Menurut pendapat Mahkamah Agung, bahwa pemeriksaan terhadap perkara yang pihak Tergugatnya gila tidak perlu menunggu adanya penetapan kurator dari Pengadilan Negeri.

 

62.  “Dalam perkara sengketa waris mal waris, tidak perlu ditetapkan taksiran harga dan penunjukan obyek sengketa yang menjadi bagian masing-masing karena harga tersebut dapat berubah pada saat eksekusi”.

 

63.  “Untuk membagi harta peninggalan yang di dalamnya terdapat harta bersama, maka harta bersama harus dibagi terlebih dahulu, dan hak pewaris atas harta bersama tersebut menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak”. {Putusan MARI nomor 32 K/AG/2002 tanggal 20 April 2005}.

 

64.  "Apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya berasal dari harta bersama, maka dalam barang tersebut tetap melekat harta bersama meskipun barang itu dibeli atau dibangun berasal dari pribadi" {Putusan MARI nomor 803 K/Sip/1970 Tanggal 5 Mei 1970}.

 

65.  “Harta bersama harus dirinci antara harta yang diperoleh selama perkawinan dan harta milik pribadi (harta bawaan, hadiah, hibah, warisan)”.
“Obyek sengketa yang tidak dapat dibuktikan harus dinyatakan ditolak, sedangkan obyek sengketa yang obscuur libel harus dinyatakan tidak dapat diterima”. {Putusan MARI nomor 90 K/AG/2003 tanggal 10 Nopember 2004}.

 

66.  “Gugatan rekonpensi yang diajukan oleh Kuasa Termohon dalam perkara cerai talak yang melampaui batas kewenangan yang diberikan kepadanya, sebatas mengenai akibat perceraian, dapat dikabulkan secara ex officio”.
“Kewajiban seorang ayah untuk memberi nafkah kepada anaknya adalah lil intifa’ bukan lil tamlik, maka kelalaian seorang ayah yang tidak memberikan nafkah kepada anaknya (nafkah madhiyah anak), tidak dapat digugat”.

 

67.  “Jumlah nilai mut’ah, maskan dan kiswah selama masa iddah serta nafkah anak harus memenuhi kebutuhan hidup minimum berdasarkan kepatutan dan rasa keadilan sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku”. {Putusan MARI nomor 608 K/AG/2003 tanggal 23 Maret 2005}.

 

68.  “Keterangan dua orang saksi dalam perkara cerai talak yang hanya menerangkan suatu akibat hukum (rechts gevolg), mempunyai kekuatan hukum sebagai dalil pembuktian untuk itu harus dipertimbangkan secara cermat”.
“Alat bukti berupa keterangan saksi harus memenuhi azas klasifikasi ‘unus testis nullus testis’ sebagai asas yang berlaku dalam hukum acara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. {Putusan MARI nomor 90 K/AG/2003 tanggal 11 Nopember 2003}.

 

69.  “Keterangan saksi yang didengar dari orang lain harus dikategorikan sebagai testimonium de auditu dan karenanya tidak dapat dijadikan alat bukti”. {Putusan MARI nomor 27 PK/PID/2003 tanggal 04 Juli 2003}.

 

70.  “Meski kedudukan subyeknya berbeda tetapi obyeknya sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan nebis in idem”. {Putusan MARI nomor 1226 K/Pdt/2001 tanggal 20 Mei 2002}.

 

71.  “Dalam perkara waris, untuk menentukan harta peninggalan terlebih dahulu harus jelas mana yang merupakan harta bawaan dan mana pula yang merupakan harta bersama. Harta bawaan kembali kepada saudara pewaris dan harta bersama yang merupakan hak pewaris menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada para ahli waris”.
“Dalam membagi harta warisan harus disebutkan secara jelas orang-orang yang berhak menjadi ahli waris dan bagiannya masing-masing”.
“Apabila dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris, maka hibah tersebut batal demi hukum karena salahsatu syarat hibah adalah barang yang dihibahkan harus milik pemberi hibah sendiri bukan merupakan harta warisan yang belum dibagi dan bukan pula harta yang masih terikat dengan suatu sengketa”. {Putusan MARI nomor 332 K/AG/2000 tanggal 3 Agustus 2005}.

 

72.  “Dalam hal bukti kepemilikan Penggugat dapat dilumpuhkan oleh bukti Tergugat, maka gugatan harus dinyatakan tidak terbukti oleh karenanya gugatan harus ditolak”. {Putusan MARI nomor 294 K/Pdt/2001 tanggal 8 Agustus 2002}.

 

73.  “Perubahan gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok yang dapat menimbulkan kerugian pada hak pembelaan para Tergugat”. {Putusan MA nomor 434 K/Pdt/1970 Tanggal 11 Maret 1971} jo. Pasal 127 Rv.

 

74.  “Jika terjadi sengketa mengenai hak milik, maka sesuai dengan ketentuan pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berwenang mengadili tentang obyek yang menjadi sengketa tersebut adalah Peradilan Umum/ Pengadilan Negeri”. {Putusan MA nomor 162 K/Pdt/1992 Tanggal 10 Pebruari 1994}; {Sudah dihapus oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama}.

 

75.  Dalam hal pada waktu perkara disidangkan Tergugat ternyata telah meninggal, apabila Penggugat tidak berkeberatan perkara dapat diteruskan oleh ahli waris Tergugat. {Putusan MA nomor 429 K/Sip/1971 Tanggal 10 Juli 1971}.

 

76.  Dalam hal perkara sebelum diputuskan, Tergugat meninggal, haruslah ditentukan lebih dulu siapa-siapa yang menjadi ahli warisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan itu diteruskan, karena bila tidak putusannya akan tidak dapat dilaksanakan {Putusan MARI nomor 332 K/Sip/1971 Tanggal 10 Juli 1971 jo. vide Putusan MARI nomor 459 K/Sip/1973 tanggal 29 Desember 1975).

 

77.  Dengan meninggalnya Penggugat asli dan tidak adanya persetujuan dari semua ahli warisnya untuk melanjutkan gugatan semula, gugatan harus dinyatakan gugur. {Putusan MARI nomor 431 K/Sip/1973 Tanggal 9 Mei 1974}.

 

78.  Karena tanah-tanah sengketa sesungguhnya tidak hanya dikuasai oleh Tergugat I/Pembanding sendiri tetapi bersama-sama dengan saudara kandungnya, seharusnya gugatan ditujukan terhadap Tergugat I Pembanding bersaudara bukan hanya terhadap Tergugat I Pembanding sendiri, sehingga oleh karena itu gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima. {Putusan MARI nomor 437 K/Sip/1973 Tanggal 9 Desember 1975}.

 

79.  Kuitansi yang diajukan oleh Tergugat sebagai bukti, karena tidak bermeterai, oleh Hakim dikesampingkan.

 

80.  Bekas suami menurut hukum acara yang berlaku (Pasal 172 R.Bg.) tidak boleh didengar sebagai saksi.

 

81.  Karena keterangan-keterangan dari Ambu Samilin diberikan tidak di bawah sumpah, keterangan-keterangan tersebut hanya dinilai sebagai petunjuk, untuk menambah keterangan-keterangan saksi di bawah sumpah lainnya. {Putusan MARI nomor 90 K/Sip/1973 Tanggal 29 Mei 1975}.

 

82.  Karena yudex facti belum pernah mengadakan pemeriksaan setempat mengenai batas-batas tanah sengketa, kepada Pengadilan Negeri diperintahkan untuk mengadakan pemeriksaan tambahan mengenai batas-batas tanah tersebut.

 

83.  Di dalam amar putusan, orang-orang yang tidak merupakan pihak dalam perkara, tidak dapat dinyatakan sebagai ahli waris. {Putusan MARI nomor 177 K/Sip/1976 Tanggal 26 Oktober 1976}.

 

84.  Karena hubungan hukum yang sesungguhnya adalah hubungan hutang-piutang antara Penggugat dengan anak Tergugat, anak Tergugat tersebut harus turut digugat. {Putusan MARI nomor 400 K/Sip/1984 Tanggal 19 Juli 1985}.

 

85.  Gugatan Penggugat tidak dapat diterima karena dalam surat gugatan, Tergugat digugat secara pribadi padahal dalam dalil gugatannya disebutkan Tergugat sebagai Pengurus Yayasan yang menjual rumah-rumah milik yayasan, seharusnya Tergugat yang digugat sebagai Pengurus Yayasan. {Putusan MARI nomor 601 K/Sip/1975 Tanggal 20 April 1977}.

 

86.  "Dalam gugat cerai atas alasan perselisihan dan pertengkaran, ibu kandung dan pembantu rumahtangga dapat didengar sebagai saksi" {Putusan MARI nomor 1282 K/Sip/1979 Tanggal 20 Desember 1979}.

 

87.  Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang Tergugat yang antara Tergugat-Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan dalam satu gugatan tetapi masing-masing Tergugat harus digugat sendiri-sendiri.

 

88.  Karena petitum gugatan tidak jelas, maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima. {Putusan MARI nomor 582 K/Sip/1973 Tanggal 18 Desember 1975}.

 

89.  Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena gugatan tersebut tidak memenuhi persyaratan formal. Gugatan masih dapat diajukan lagi. {Putusan MARI nomor 1343 K/Sip/1975 Tanggal 15 Mei 1979}.

 

90.  Karena setelah diadakan pemeriksaan setempat oleh Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah Agung, tanah yang dikuasai Tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

 

91.  "Menambahkan alasan-alasan hukum yang tidak diajukan oleh pihak-pihak merupakan kewajiban Hakim berdasarkan Pasal 178 RIB." {Putusan MARI nomor 1043 K/Sip/1971 Tanggal 3 Desember 1974}.

 

92.  "Dalam hal Pengadilan "Mengabulkan gugatan untuk sebagian" dalam amar putusan, harus dicantumkan pula bahwa Pengadilan "Menolak gugatan untuk selebihnya". {Putusan MARI nomor 803 K/Sip/1970 Tanggal 5 Mei 1970}.

 

93.  "Dalam hal biaya perkara dibebankan kepada kedua belah pihak, harus ditegaskan berapa bagian yang harus dibayar oleh masing-masing pihak". {Putusan MARI nomor 432 K/Sip/1973 Tanggal 6 Januari 1976}.

 

94.  "Perubahan gugatan dapat dibenarkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok/posita yang dapat menimbulkan kerugian pada Tergugat". {Putusan MARI nomor 434 K/Sip/1970 Tanggal 11 Maret 1971}.

 

95.  "Perubahan surat gugatan perdata dapat dibenarkan bila perubahan itu dilakukan sebelum Hakim membacakan gugatan di dalam persidangan, dan kepada Tergugat masih belum diperintahkan untuk menjawab surat gugatan tersebut". {Putusan MARI nomor 1425 K/Sip/1985 Tanggal 24 Juni 1991}.

 

96.  "Karena Tergugat asal II telah menyetujui pencabutan gugatan dan tidak bersedia menghadap ke persidangan, maka dapat dipandang bahwa Tergugat tersebut telah melepaskan kepentingan dalam perkara ini sehingga pencoretan namanya sebagai Tergugat tidaklah bertentangan dengan hukum". {Putusan MARI nomor 1720 K/Sip/1978 Tanggal}.

 

97.  "Dua perkara yang berhubungan erat satu dengan lainnya tetapi masing-masing tunduk pada hukum acara yang berbeda tidak boleh digabungkan. {Putusan MARI nomor 677 K/Sip/1972 Tanggal 13 Desember 1972}.

 

98.  "Orang yang diberi kuasa tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugat lisan". Menurut Pasal 144 ayat (1) R.Bg. {Putusan MARI nomor 369 K/Sip/1973 Tanggal 4 Desember 1975}.

 

99.  "Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena gugatan ditujukan terhadap Tergugat pribadi, sedangkan gugatan itu mengenai tindakan-tindakannya yang dilakukannya sebagai pejabat". {Putusan MARI nomor 1771 K/Sip/1975 Tanggal 19 April 1979}.

 

100.   "Gugatan tidak dapat diterima karena ditujukan terhadap kuasa daripada Ny. Sukarlin sedangkan yang seharusnya digugat adalah Ny. Sukarlin pribadi". {Putusan MARI nomor 1260 K/Sip/1980 Tanggal …}.

 

101.   "Karena antara Tergugat I sampai dengan Tergugat IX tidak ada hubungannya satu dengan lainnya, tidaklah tepat mereka digugat sekaligus dalam satu surat gugatan; seharusnya mereka digugat satu persatu secara terpisah". {Putusan MARI nomor 343 K/Sip/1975 Tanggal 17 Pebruari 1977}.

 

102.   "Testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai saksi langsung tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan, yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu tidaklah dilarang". {Putusan MARI nomor 308 K/Sip/1959 Tanggal 11 Nopember 1959}.

 

103.   "Barang-barang yang sudah dijaminkan hutang kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Gresik tidak dapat dikenakan conservatoir beslag". {Putusan MARI nomor 394 K/Sip/1984 Tanggal 5 Juli 1985}.

 

104.   "Sita jaminan tidak dapat dilakukan terhadap barang milik pihak ketiga". {Putusan MARI nomor 476 K/Sip/1974 Tanggal 14 Nopember 1974}.

 

105.   "Sita jaminan atas rumah bangunan yang dipakai sebagai praktek dokter karena termasuk alat untuk mencari nafkah atau mata pencaharian bagi seorang dokter, tidak dibenarkan". {Putusan MARI nomor 8088 K/Pdt/1989 Tanggal 20 Oktober 1990}.

 

106.   "Terjadi perceraian serta pembagian harta bersama antara bekas suami-isteri masing-masing 1/2 bagian. Bahwa dipertimbangkan perihal harta benda tersebut termasuk biaya hidup, pendidikan dan pemeliharaan anak yang menurut yurisprudensi sebagai hukum yang hidup biaya-biaya tersebut tidak hanya dibebankan kepada ayah saja tetapi juga kepada ibu, sehingga untuk menjamin pembagian tersebut, conservatoir beslag dapat disahkan dan dinyatakan berharga teristimewa untuk jaminan pelaksanaan putusan (eksekusi)". {Putusan MARI nomor 392 K/Pdt/1969 Tanggal 1 Oktober 1969}.

 

107.   "Permohonan provisi seharusnya bertujuan agar ada tindakan Hakim yang tidak mengenai pokok perkara, permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak". {Putusan MARI nomor 279 K/Pdt/1976 Tanggal 5 Juli 1977}.

 

108.   "Putusan provisi dalam perkara ini seharusnya hanya berupa larangan untuk meneruskan bangunan dan penghukuman untuk membayar uang paksa (jadi tidak mengenai pokok perkara)". {Putusan MARI nomor 1738 K/Pdt/1976 Tanggal ... }.

 

109.   Kumulasi subyektif (dhi. terdapat 3 orang Tergugat) berbeda dengan itsbat nikah dalam rangka perceraian, dimana Penggugat (Pemohon)nya dan Tergugat (Termohon) masing-masing seorang.

 

110.   Dalam perkara sengketa perkawinan termasuk hadhanah, tidak berlaku asas "nebis in idem" {Putusan MARI nomor 110 K/AG/1992 Tanggal 24 Juli 1993}.

 

111.   Kepentingan si anak yang harus dipergunakan selaku patokan untuk menentukan siapa dari orang tuanya yang diserahi pemeliharaan si anak. {Putusan MARI nomor 906 K/Sip/1973 Tanggal 25 Juni 1974}.

 

112.   Kewajiban membiayai kehidupan pendidikan dan pemeliharaan anak, tidak hanya dibebankan kepada ayahnya saja, tetapi juga kepada ibunya sehingga patut kepada masing-masing dibebankan separoh dari termaksud. {Putusan MARI nomor 906 K/Sip/1973 Tanggal 25 Juni 1974}.

 

113.   Surat bukti fotokopi yang tidak dapat diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti. (Vide Pasal 1888 KUHPerdata). {Putusan MARI nomor 3609 K/Pdt/1985 Tanggal 9 Desember 1997}.

 

114.   "Bekas suami menurut hukum acara yang berlaku, tidak boleh didengar sebagai saksi". {Putusan MARI nomor 140 K/Sip/1974 Tanggal 6 Januari 1976}.

 

115.   “Dengan adanya pengakuan tegas, maka Penggugat tidak perlu membuktikan lagi dalilnya”. (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) nomor 858 K/Sip/1971 tanggal 27 Oktober 1971).

 

116.   "Adanya pengakuan Tergugat dianggap gugatan telah terbukti” (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, nomor 497 K/SIP/1971 tanggal 01 September 1971).

 

117.   “Bahwa sanggahan/eksepsi Tergugat tersebut pada pokoknya telah mempermasalahkan pokok perkara dan bukan keberatan terhadap kompetensi Pengadilan atau bukan keberatan terhadap kehendak undang-undang yang harus dipenuhi, sebagaimana menurut layaknya formalitas suatu gugatan “atas dasar fakta dari pertimbangan tersebut majelis berpendapat bahwa eksepsi Tergugat tersebut tidak bersandar hukum, yang karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima”. (Putusan Mahkamah Agung RI. nomor 4434 K/Pdt/1986 bertanggal 20 Agustus 1988).

 

118.   “Eksepsi yang isinya senada dengan jawaban-jawaban biasa mengenai pokok perkara dianggap bukan eksepsi”, maka harus dinyatakan ditolak. (Putusan Mahkamah Agung RI nomor 284 K/Pdt/1976 tanggal 12 Januari 1976).

 

119.   Bahwa walaupun ada dua perkara yang berkaitan erat satu dengan lainnya tetapi tunduk pada hukum acara yang berbeda, maka tidak dibenarkan untuk digabungkan. Dalam hal ini pokok perkaranya adalah Penggugat menuntut pembagian harta warisan (perkara contentius) yang sekaligus digabungkan dengan perkara permohonan hak agar ditetapkan sebagai anak angkat (perkara voluntair), hal ini melanggar ketertiban beracara dengan adanya penggabungan tersebut. Karena upaya hukum perkara Voluntair adalah kasasi sedangkan upaya hukum perkara contentiosa adalah banding. Berbeda halnya dengan penggabungan perkara itsbat nikah (perkara voluntair) dalam rangka perceraian (perkara contentiosa), dimana satu orang Penggugat (Pemohon) melawan satu orang Tergugat (Termohon), sedangkan dalam perkara ini terdapat beberapa orang Tergugat yang menyangkal dalil-dalil Penggugat untuk ditetapkan sebagai anak angkat yang akan memperoleh warisan melalui wasiat wajibah